“Slag dan scrap yang merupakan limbah dari industri baja, tidak termasuk ke dalam limbah B3. Nilai tambah bagi slag dan scrap jika diolah dengan baik, masih bisa digunakan untuk aktivitas produktif lainnya, seperti pengerasan jalan,” kata Menteri Perindustrian (Menperin), Saleh Husin di Jakarta, Jumat (27/2).
Saleh berjanji akan berkoordinasi dengan kementerian terkait agar limbah industri baja seperti scrap dan slag dikeluarkan dari daftar limbah berbahaya.
“Saya akan ajukan dalam rapat koordinasi dengan Kementerian terkait agar scrap dan slag tidak termasuk limbah berbahaya,” paparnya.
Sementara itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di Indonesia sampai dengan 2019, lanjut Saleh, diperlukan baja sebesar 17,46 juta ton per tahun.
“Proyek pembangunan infrastruktur ini diperkirakan menelan dana senilai Rp 5,5 triliun. Dalam rangka memenuhi permintaan baja domestik dan menghindari ketergantungan yang tinggi terhadap baja impor, produsen baja dalam negeri harus terus meningkatkan kualitas dan kapasitas produksinya,” ujarnya.
Saleh menambahkan, jumlah perusahaan industri baja nasional saat ini sebanyak 352 yang tersebar di beberapa daerah antara lain pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.
“Sebagian besar industri ini berpusat di Pulau Jawa, dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 200.000 orang serta kapasitas yang dimiliki industri ini sebesar 14 juta ton per tahun,” tuturnya.